Kau, Aku dan Dia-Part 9

Aloha!! Gomenasai...mianhae, chingu...udah buat jadwal episode berikutnya berantakan. Aye lagi ujian soalnya,he3...Jadi ya fokus ke ujian dulu. Nah, OK...kita lanjut sekarang y...
Bagian 5 : The Destiny’s Game
Bab 1	    : Icha’s Confession
September 2010
Malam itu Karen dan Icha sedang asyik nonton film horor. Icha memilihkan film Jepang yang super duper horor, One Missed Call 1 sampai 3. Karen yang doyannya film lucu jadi jantungan gara-gara enggak terbiasa nonton horor. Dia juga kadang nutupin muka pake bungkus snack yang lumayan besar, sementara Icha sendiri enggak bisa memicingkan mata sedikitpun dari layar televisi. Dia melongo dan kadang jerit-jerit keras banget. Karen harus melewatkan sepanjang malam dengan jantung diforsir akibat lihat hantu dalam film itu. Dia enggak tahan sebenarnya, pingin banget tidur. Tapi sayang juga, penasaran banget sama filmnya. Maka dengan tetap bersenjatakan bungkus snack sambil sesekali mengintip, dia akhirnya meneruskan nonton.
Pada jam setengah tiga dini hari akhirnya film selesai. Karen menghembuskan nafas lega. Icha sendiri menggeletak di samping sofa.
“Gile...capek lihat tiga film berturut-turut ye...” sahut Icha tak berkedip. Karen mengangguk.
“He eh...capek banget, mata gue juga capek...”
“Tapi kok gue belum ngantuk ya?” tambah Icha. Karen mengangguk lagi.
“He eh...Padahal udah jam segini lho...” Icha lalu bangkit, mengambil snack Karen, dan menghadap tepat ke depan Karen.
“Eh, gue boleh curhat? Sekalian biar bisa ngantuk, gitu...” Karen mengangguk.
“Yeah, cerita aja...” Icha terdiam sebelum akhirnya menghela nafas dan berkata,
“Menurut lho, etis enggak sih cewek boleh mengungkapkan perasaan ke cowok yang dia senangi?” Karen tersentak mendengarnya. Icha melanjutkan
“Maksud gue...Ehm, gue seneng sama seseo....”
“Bayu kan?” tanpa sadar Karen keceplosan. Gantian Icha yang tersentak.
“Hah? Kok...kok lo tahu?” Karen menjadi waspada. Dia tahu tatapannya ke Icha kini enggak bersahabat. Dia merasa, entah kenapa, takut.
“Kok lo bisa tahu?” ulang Icha mendesak. Karen yang masih kaget tak bisa menemukan kata-kata untuk membalas pertanyaan Icha. Tapi melihat Icha yang masih penasaran, mau tak mau Karen memaksakan menjawab,
“Udah jelas, Cha...” Icha membelalak,
“Hah, udah jelas gimana?” Karen mengernyitkan dahinya dan menelan ludah.
“Cara lo...cara lo memandang ke Bayu itu...beda. cara lo bersikap kalau ada Bayu itu...beda. cara lo berbicara dengan Bayu...itu juga beda. Feeling, Cha...Gue kan cewek, pasti kerasa lah kalau sahabat gue sendiri seneng sama orang...” Karen menjelaskan panjang lebar. Icha termangu, dia menatap Karen. Karen mengangguk,
“Iya...kelihatan jelas kalau lo suka sama Bayu. Sekarang, apa tadi lo bilang? Lo mau mengungkapkan perasaan lo ke Bayu?” Icha, yang masih menatap Karen, mengangguk.
Karen tak tahu harus menjawab apa. Sudah satu semester berlalu sejak Karen tahu perasaan Icha. Sudah satu semester Karen tahu bahwa Icha pasti masih menyimpan perasaan ke Bayu. Tindak tanduk Icha yang bahagia bila bertemu Bayu selama ini di kampus entah kenapa membangkitkan perasaan sedih di hati Karen. Bukan sedih karena takut Icha ditolak, namun perasaan sedih yang dia tidak tahu apa alasannya. Yang dia tahu adalah setiap kali melihat betapa bersinarnya mata Icha saat memandang Bayu, perasaan sedih dan pedih itu datang tanpa diundang.
“Jadi...Jadi gimana menurut lo, Ka?” Karen memandang Icha penuh ragu. Ia tak tega memberitahu bahwa Bayu sedang tidak berminat untuk berpacaran, karena bagi dia, Karen dan Ardi sudah cukup baginya. Dan sejujurnya, Bayu memang tak menaruh perasaan pada Icha. Tapi tak adil bagi Icha untuk mengetahui itu, karena Karen tahu, betapa hancurnya hati sahabat ceweknya itu nanti. Maka dengan membela diri bahwa apa yang akan dikatakannya adalah demi menjaga perasaan Icha, Karen menggenggam tangan Icha dan tersenyum,
“Coba aja. Gue tahu betapa selama ini lo menyimpan perasaan ke Bayu,” sahutnya. Icha membalas tersenyum dengan senyum kecilnya yang membuat perih hati Karen.
“Ok. Gue sekarang lega. Yuk, kita tidur. Besok kita masuk jam 10, jadi bisa molor sepuas kita, he he..”
Ketika Icha sudah tidur, Karen bangkit dari tempat tidurnya sendiri dan menahan diri untuk tidak terus-menerus merasa kasihan pada Icha. Tapi Bayu pasti bisa menolak Icha dengan cara halus, paling enggak dengan begitu Icha enggak akan terlalu patah hati, harap Karen dalam hati.
***
Karen keluar kelas paling akhir, karena dosennya memintanya untuk berbicara dengannya. Karen punya firasat dosen itu menyukainya dari tatapannya yang lumayan enggak enak, flirting terus menerus (ini masih ditambah tampang yang―maaf, agak mesum) padanya. Karen akhirnya berhasil melepaskan diri dari jeratan pesona yang sengaja dicipratkan sang dosen (jelas enggak akan mempan bagi Karen, he he...) dan bergegas keluar kelas.
Pemandangan pertama yang menyambut Karen begitu mengejutkannya sampai dia menghentikan langkah. Dia terpaku dan mengawasi dari depan ruang kelas. Tak mampu bergerak.
Meskipun Icha sudah memberitahunya, tak ada sesuatu yang bisa mempersiapkan Karen untuk kejadian yang berada cukup jauh darinya. Kira-kira sepuluh meter jauhnya dari tempatnya berdiri, tepatnya kursi di sebelah pohon yang menaungi taman kampus, Icha tampak sedang berbicara dengan Bayu. Karen penasaran sekali akan apa yang dikatakan Icha, maka dia mengendap-endap sambil berusaha sesekali bersembunyi dibalik cekungan dinding untuk mencapai tempat dimana dia bisa sedekat mungkin dengan Icha dan Bayu dan menguping pembicaraan mereka.
“Gitu, Bay...Gue...gue selama ini punya...punya perasaan ke lo, lebih dari sekadar teman...” akhirnya Karen bisa menguping pembicaraan Icha dan Bayu setelah lima menit mengendap-endap. Karen mengintip dari balik pilar lebar di depan ruang dosen, melihat reaksi Bayu. Dilihatnya Bayu hanya terdiam dan sesekali menahan nafas. Ketika Bayu membuka mulutnya, Karen memperhatikan betul-betul,
“Kayaknya gue enggak bisa, Cha...Gue menganggap lo hanya teman aja, enggak lebih. Maaf ya...” Karen menelan ludah mendengarnya. Dia lalu memperhatikan Icha. Dilihatnya Icha menunduk. Ada sekelebatan perasaan lagi dalam hati Karen. Dia tahu, betapa Icha sudah cukup lama menyukai Bayu, bahkan mungkin lebih lama dari satu semester yang diduganya. Dan jika melihat kegembiraan Icha setiap bertemu Bayu, Karen merasa ia bisa membaca hati Icha. Bagaimana Icha begitu menyukai Bayu, bagaimana perasaan Icha jika ditolak. Dan Karen mengetahui juga betapa pedihnya itu.
Tiba-tiba Karen mendengar Icha berbicara lagi, maka dia memasang telinga baik-baik,
“Benar-benar enggak bisa ya? Kalau kita coba dulu?” Karen mendengar nada permohonan dalam kata-kata Icha. Bayu menghela nafas lagi, kali ini lebih keras,
“Gue rasa enggak bisa, Cha...Perasaan itu kan enggak bisa dipaksakan...”
Karen melihat Icha menunduk semakin dalam. Dan sebelum Karen benar-benar sadar apa yang terjadi, Icha mendadak pergi dari Bayu. Dia melangkah cepat memutari bangku dan nyaris berlari sepanjang lorong kampus, melewati tempat persembunyian Karen yang menahan nafas saking kagetnya.
Karen merasa mendengar isakan saat Icha melewatinya. Dan ia tidak ingin, sesampainya di kos nanti, dia mendapati Icha menangis keras.
Tanpa sadar, Karen meraih HP-nya. Mencari nama Ardi dalam daftar telepon, dan menelepon sahabatnya itu. Ardi yang saat itu sedang di tempat parkir karena kuliah sudah selesai, menjawab dengan ceria.
“Eh, Ucil...Gue baru aja mau ke kampus lo lho, he he...” Karen menjawab pelan,
“Kita ketemu berdua aja yuk...Ada yang mau gue omongin...” Ardi bisa menangkap nada Karen yang aneh. Maka dia bertanya,
“Lho, emang kenapa? Eh iya...Niatnya gue mau ajak kalian main lho...Ada tempat ba...” Karen memotong kata-kata Ardi.
“Enggak, kita berdua aja. Ada masalah,”
Dan setelah mengucapkan kata-kata itu, Karen mematikan telepon.
***
Uuf...Episode kali ini berakhir sampai disini  ya...Next week, Insya Allah gue bakal lanjutin. OK! Jhumal Jhal Jhinaeseyo ya, Chingu!^_^

Kau, Aku dan Dia-Part 8

Taratam…taratam…Nah, I’m back! Maap pembaca, minggu lalu pending jadwalnya buat lanjutin episodenya…Biasa, problem laptop, he he…OK deh, langsung aja yuk, qt lanjutin episode berikutnya…Siapin cemilan juga ya…. 😀
Bagian 4
Bab 3    : Bayu
____________________________________________________________________________________
Bayu mendapati Ardi sedang berbaring membaca komik ketika dia pulang. Dia menyapanya, agak menegur juga,
“Eh, lo sama Karen pulang enggak bilang-bilang tadi. Dasar lo, gue kira kalian diculik, tahu, he he…” Ardi menjawab agak enggak fokus,
“Lo sibuk pacaran mulu…” Bayu tersedak air putih yang sedang diminumnya.
“Hah? Pacaran apaan? Orang pacar aja enggak punya, dasar asal lo” kali ini Ardi duduk dan menatap Bayu, meletakkan komik dan kacamatanya,
“Lhah, lo asyik ngobrol sama Icha tadi…” Bayu malah terbahak mendengarnya.
“Halah. Cuma ngobrol aja dibilang pacaran, ha ha…” Ardi berkerut mendengarnya. Dia bingung akan memberitahu Bayu yang sebenarnya atau enggak. Maka dia memutuskan untuk bertanya sesuatu,
“Bay, gue tahu dari dulu lo deket sama cewek, karena lo orangnya memang senang dekat sama siapa aja. Pendek kata, lo supel. Nah, pernah enggak, dari cewek yang lo kasih perhatian, ada satu aja yang ternyata juga menaruh perasaan ke lo?” Bayu menatap Ardi. Enggak kayak biasanya sahabatnya itu bilang begitu. Pasti ada apa-apanya, maka Bayu berusaha mengorek info lebih jauh lagi.
“Setahu gue enggak. Lagipula, gue memang deketnya taraf standar lah. Gue tahu juga dong, batasnya. Lagipula, emang gue deket enggak dengan maksud apa-apa.” Ardi menggaruk-garuk kepalanya, pusing. Coba, gimana caranya bilang sama Bayu. Tapi untungnya Bayu malah mendekatinya, dengan pandangan menyelidik,
“Di, pertanyaan lo aneh. Bilang secara lugas deh, maksud lo,” Ardi akhirnya berpikir untuk berterus terang saja,
“Bay, Icha. Gue perhatikan, dia selalu grogi di dekat lo. Tadi dia juga enggak fokus main basketnya. Itu gara-gara dia sibuk memperhatikan lo, Bay…” Ooosh!, akhirnya Ardi menarik nafas lega karena dia berhasil memberitahu Bayu apa yang terjadi. Bayu seakan ingin tertawa, bilang bahwa Ardi ngaco. Tapi begitu melihat raut muka Ardi, Bayu akhirnya menghela nafas,
“Di, Icha juga salah satu cewek yang gue akrabin, dia juga tahu lah gue suka ngajak ngobrol sama siapa saja. Walaupun yang lo bilang itu benar, suatu hari dia pasti melihat bahwa bukan hanya dia yang gue akrabin.” Ardi termenung, kasihan Icha…Ardi jadi tahu betapa gundahnya hati Karen dan mengerti bagaimana perasaan Karen.
“Karen khawatir, Bay. Kalau misal Icha akhirnya mengakui perasaannya terhadap lo, dan lo menolak, pasti keadaannya akan enggak enak dan canggung diantara Karen, lo, dan pastinya Icha sendiri,” Bayu terperangah,
“Gue…gue…” sahutnya terbata-bata. Ardi menepuk bahunya.
“Jadi yang bisa gue saranin adalah jaga jarak, Bay, antara lo dan Icha. Jangan terlalu akrab, tapi juga jangan jadi kaku kalau ketemu dia. Usahakan sebiasa mungkin. Semakin lo akrab, semakin dia berharap. OK! Lo pasti bisa”
Kata-kata yang bagi Ardi mudah itu bagi Bayu sukar dipahami dan dipraktekkan. Tapi dia juga enggak mau bikin Karen dan Ardi sampai khawatir. Makanya dia mengangguk.
“Tapi gue enggak nyangka, Icha punya perasaan seperti itu ke gue.” Ardi melanjutkan membaca komiknya dan memasang kacamatanya, berucap sambil rebahan lagi,
“Ya elah Bay…namanya juga perasaan. Emang kita bisa mencegah kalau kita seneng sama orang?”
Bayu termenung. Ardi benar. Tapi kenapa harus Icha? Siapa kek…masa Icha? Dia terlalu dekat dengan dia, Ardi dan Karen. Yang lain napa? Bayu menghitung dengan jarinya, cewek di kelasnya yang lumayan boleh dijadikan gebetan. Sandra, Artika, Micha, Niken, Rista, Dinda…
Bayu hendak telepon Karen, karena dia merasa harus memberitahunya bahwa dia sudah tahu semuanya. Dia mencari nama Karen dengan senang diantara daftar phone book-nya. Ketika Karen mengangkat, dia mendapati suara cewek itu agak aneh.
“Ucil, gue udah tahu tentang Icha kok…Maaf udah buat lo khawatir. Beneran deh, gue enggak tahu Icha punya perasaan kayak gitu…” jawaban Karen agak lama sampai Bayu cemas. Akhirnya Karen menjawab juga,
“Oh. Yah, pertamanya cuma feeling aja sih. Tapi kok ya ternyata bener. Nah, apa yang akan lo lakuin?” Bayu segera menjawab,
“Menurut Ardi, gue coba jaga jarak. Jangan terlalu akrab, takut Icha berharap nantinya. Tapi juga jangan terlalu kaku,” Karen menjawab sambil mendengus lega,
“Huuuf…He’s smart, Ardi itu… “ Bayu agak jengkel, entah kenapa. Memangnya gue enggak bisa mengatasi persoalan? Tapi memang bener sih, Ardi kali ini lumayan tokcer otaknya buat kasih masukan. Nada suara Karen berubah, kali ini lebih ceria,
“Nah, semua beres deh. Tolong jaga perasaan Icha ya Bay…” Lebih penting perasaan lo, lo kan sahabat gue nomor dua, sergah Bayu dalam hati. Tapi kok rasanya kejam juga ya…Bayu menggaruk-garuk kepalanya.
Setelah itu mereka berdua ngobrol ngalor ngidul. Ardi yang menguping pembicaraan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kadang Bayu tertawa atau bahkan hanya tersenyum. Ardi yang lalu bosan melihatnya memutuskan untuk tidur saja. Ngapain juga lihat orang sibuk teleponan? Pikirnya ngakak sendiri dalam hati.
Bayu merasa senang. Dia lega mendengar suara ceria Karen. Kasihan Karen, dia kan temen Icha yang paling dekat. Secara sekamar…
Tapi Bayu juga tahu, dia tidak menaruh perasaan sedikitpun pada Icha. Dia senang berteman dengan Icha, pribadinya hangat, orangnya kalem dan kadang-kadang juga humoris. Tapi tidak, hatinya bukan untuk gadis itu.
Sambil memendam perasaan agak bersalah pada Icha, Bayu akhirnya tertidur
***
Huuf….tarik nafas, buang. Nah, selesai juga bagian ini. Still wait for another chapter, OK! ^_^


adopt your own virtual pet!

Kau, Aku dan Dia-Part 7

Hahoiii…Meet me again 😀 ! Siap-siap ya….jreng jreng….!! Gue persembahkan episode berikutnya dari cerbung ini. Ready…

Steady…

Go!!

Bagian 4

Bab 2     : Ardi

__________________________________________________________________________________

Sabtu pagi itu, Ardi yang sedang mencuci motornya kaget ketika didatangi Karen yang bermuka lesu. Ardi menyapa setengah bercanda,

“Ucil, lo kok kalau mampir kesini wajah lo enggak enak mulu…Na, pasti mau curhat ini, iya to?”

Karen memandang Ardi, mulutnya mengerucut mengenaskan, lalu mengangguk,

“He em…Gue mau cerita…” maka Ardi meletakkan lap-nya dan duduk di samping Karen dan bertanya,

“Emang ada apa?” Karen menghela nafas.

“Kayaknya feeling gue bener deh. Icha beneran suka sama Bayu…” sahutnya lemah. Ardi memperhatikan raut muka Karen yang memandang lemah. Agak khawatir.

“Kok lo gitu? Bukannya biasanya malah bagus ya? Kan kita bisa jodohin mereka. Wah, gue jadi punya ide usil nih, he he…” wajah Ardi nyengir. Pasti di otaknya lagi kepikiran yang aneh-aneh ini, ck ck…pikir Karen sambil memandang Ardi, agal sebal. Dia lalu berucap,

“Lhah, iya kalau Bayu mau terima Icha, kalau enggak? Kan Icha patah hati, terus ntar nggak mau ngomong lagi sama kita gimana?”  Ardi jadi ngeh dengan masalahnya. Susah juga ya, pikirnya. Tapi akhirnya dia menjawab,

“Gini aja. Lo bilang, kita tunggu perkembangannya. Sampai sejauh apa usaha Icha buat ngedeketin Bayu. Kalau bener dia positif suka lho…Gue kan belum lihat sendiri kayak apa,” Karen menjentikkan jarinya.

“Nah, pintar lo. Gini, kita bikin acara yang mengikutsertakan Icha. Jadi lo bisa lihat sendiri kayak apa si Icha ke Bayu. Sip kan?” Ardi tertawa,

“Hah, pinter juga lo…Gampang. kita tanding basket lagi aja…” Karen cemberut mendengar usul itu.

“Yaah…gue kalah mulu sih. Jadi malas…Apalagi lawan gue Icha…” Ardi mengacak rambut Karen, kembali tertawa.

“Ha ha…Ya udah, Lo sama Icha, gue sama Bayu. Gampang to? Malah Icha bisa salting lho kalau  dihadapkan sama Bayu. Malah bagus itu” Karen terpekik. Dia memukul bahu Ardi keras. Yang dipukul mengaduh sebal.

“Pinter…pinter…Gue setuju buanget…Ohohohoi!” Ardi menggerutu,

“Setuju sih setuju. Lha, nabok gue?” Karen menampakkan wajah khasnya. Nyengir sambil berkata dimanis-manisin.

“Maaap deh…Habis gue seneng aja punya sahabat jenius-jenius Einstein kayak lo,” Ardi terbahak mendengarnya. Karen akhirnya ikut tertawa juga. Ardi memandang Karen, lalu mengacak-acak rambut sahabatnya itu sekali lagi. Dasar sahabat error, pikirnya agak geli.

***

Maka malamnya Ardi mengingatkan Karen, agar akhir minggu besok jangan lupa bilang pada Icha kalau mereka ngajak tanding basket lagi. Ardi sendiri mengusulkan acara “memata-matai” Icha dengan modus operandi (halah) tanding basket kepada Bayu itu dengan bersemangat. Bayu sendiri yang sedang main PS hanya mengangguk sambil lalu karena tangannya sedang sibuk dan tatapannya terpaku pada “mobil balapnya” di PS.

Setelah itu Ardi dengan gencar SMS Karen. Lumayan, bonus SMS banyak nih, pikirnya senang. Karen juga malah ikutan senang. Soalnya mereka membahas beberapa kemungkinan. Contohnya:

  1. Kalau Icha pedekate terus ditolak. Karen membalas pertanyaan Ardi itu dengan agak jemu, karena dia enggak tega memikirkan reaksi Icha. Lagipula, Bayu tipe agak cuek bila dideketin cewek yang naksir dia, kata Ardi.
  2. Kalau Icha pedekate terus ndilalah Bayu ngeh dan membalas perhatian Icha itu. Asyiknya, balas Ardi, mereka bisa mengusulkan pada Icha strategi buat deketin Bayu terus. Kan seru tuh, lanjut Ardi. Karen yang setuju lalu mengusulkan strategi-strategi “gila” yang bikin Ardi terbahak.

Ardi merasakan kegembiraan yang belum pernah dirasakannya terhadap cewek lain saat dia membalas SMS-SMS Karen. Karen enggak membosankan dan asyik diajak bercanda dan ngobrol (wajar, tipikal orang “gila” kayak gitu, pikir Ardi tertawa).  Ardi lalu menuju meja belajarnya, dan mengambil foto berpigura. Itu saat mereka merayakan hasil tes mereka yang bagus dulu. Karen diapit oleh Bayu di sebelah kiri dan dirinya di sebelah kanan. Ardi mendapati senyum Karen disana. Senyum penuh keceriaan dan kehidupan. Ardi mengusap sosok Karen dalam foto yang diberi kaca itu, dan ikut tersenyum juga.

***

Maka rencana Ardi dan Karen untuk memata-matai Icha pun berjalan mulus. Icha dengan girang menerima ajakan tanding basket itu. Dia dipasangkan dengan Ardi dan Bayu dengan Karen. Sepanjang pertandingan, mata Ardi dan Karen tak lepas dari Icha, sampai mereka keteteran. Tapi setelah berusaha fokus, Ardi melihat juga apa yang dilihat oleh Karen. Icha tak berusaha keras mengambil alih bola dari Bayu. Dia malah terkesan membiarkan saja Bayu melewatinya dan memasukkan bola ke ring. Ardi sampai harus berkali-kali berteriak pada Icha agar berusaha mengambil alih bola dan  menambah poin mereka. Enggak kayak biasanya Icha yang jago basket malah teledor seperti itu. Icha juga terlalu sering memperhatikan Bayu, bukannya bolanya, dan mengawasi dengan pandangan agak melamun ketika melihat Bayu memasukkan bola. Maka dengan sebal Ardi harus menerima kekalahan mereka. Tapi paling enggak, dia mendapat bukti langsung tentang dugaan Karen.

Ardi hendak menghampiri Karen dan mengkonfirmasikan apa yang sudah dilihatnya. Tapi Ardi mendadak berhenti. Karen sedang memperhatikan Icha. Bukan, bukan hanya Icha, tapi juga Bayu. Bayu mendekati Icha, bertanya,

“Lo kenapa Cha? Performa lo enggak kayak biasanya,” Icha terlonjak ditanya Bayu. Dia kembali bersemu merah seperti dulu dan menjawab agak bergetar. Bahkan Karen bisa menangkap nada suara Icha yang malu,

“Ah, eh, ehm…eng, enggak kenapa-napa kok, iya…” Bayu mendekati Icha dan duduk di sebelahnya, menawarkan minum. Icha kelihatan makin grogi. Bayu berucap,

“OK, lain kali gue mengharapkan permainan yang imbang lho. Lo tadi kelihatan sengaja mengalah dan enggak berusaha menghalangi gue,”

Ardi melihat kepada Karen, mengamati wajah cewek itu. Ardi enggak mengerti, mengapa dia melihat kedukaan dan kesedihan di wajah Karen. Harusnya dia senang kan? Pikir Ardi heran. Ardi melihat Karen mengawasi Bayu dan Icha, ada sesuatu di matanya. Dan entah kenapa, Ardi merasa dia harus mencari jawabannya. Maka dia mendekati Karen, tapi Karen telah berbalik dan mengambil tasnya. Berlalu tanpa melihat pada Ardi, karena dia menunduk.

Apa Karen cemburu ya? Pikir Ardi. Tiba-tiba Ardi merasakan perasaan marah. Dia menoleh ke arah Icha dan Bayu yang masih duduk. Dia senang saja kalau Bayu dan Icha jadian. Tapi kenapa Karen kelihatan sedih? Karen bilang dia takut Icha ditolak dan lalu dia menjauhi mereka bertiga. Ardi mengerti itu. Ardi tak ingin Karen sedih, dia tak ingin bayangan cewek ceria yang senyumnya ia kagumi menghilang.

Tanpa bilang pada Bayu dan Icha, Ardi memutuskan untuk pergi dan menyusul Karen. Karen membutuhkannya, begitu yang dirasakan Ardi. Dan Ardi merasakan suatu keharusan untuk memberi Karen pengertian, bahwa enggak semudah itu Icha mengungkapkan perasaannya lalu ditolak Bayu. Dia kan pemalu. Dan Bayu yang dikenalnya adalah Bayu yang akrab dengan semua cewek dan mungkin perhatiannya pada Icha ditanggapi dengan lain oleh cewek itu. Suatu hari Icha pasti akan melihat itu dan Karen tak perlu merasa sedih karenanya.

Maka Ardi menyusul Karen, untung saja cewek itu belum terlalu jauh berjalan. Ardi menghampirinya, melihat Karen yang berwajah keruh dan mendung, dan dia merasakan keinginan untuk menghibur Karen. Syukurlah, Karen akhirnya tertawa juga mendengar celoteh enggak tentu arah dari Ardi. Dan Ardi melihat tawa itu dengan hati penuh kebahagiaan.

***

Eit…eit…nah, sampai disini dulu ya, he he…sampai ketemu minggu depan…Daaaahhhh See ya…:D

 

 

 

 

Kau, Aku dan Dia-Part 6

Annyeong haseyo….!! I’m back! Now…please sit calmly (halah, he he… ;p), jangan baca sambil jongkok (enggak nyaman) sama berdiri (susah) lho…and enjoy… 😀
Bagian 4 : Kenyataan
Bab 1      : Karen
_____________________________________________________________________________________
Siang itu, setelah selesai kuliah, Karen yang janjian akan makan siang dengan Ardi (karena Bayu sedang rapat organisasi kampus) mendapati Ardi mendadak ketakutan melihat dirinya.
“Eh, Ardi, lo dah nunggu lama?” tanyanya sambil duduk di depan Ardi. Ardi mendadak menjauhkan duduknya dari Karen. Karen mengernyit. Eh, kenapa lagi ini anak? Udah gue duga, dia sering kesambet…pikir Karen. Ardi mengerjap-kerjapkan matanya, waspada. Karen yang sebal akhirnya bertanya lagi.
“Lo kenapa? Ada apa sih?” Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya, wajahnya yang ketakutan malah terlihat lucu.
“Lo masih idup kan? Lo enggak dimakan setan?” Ardi bertanya gemetar. Karen nyaris terjatuh dari kursinya mendengar pertanyaan Ardi. Dia melongo,
“Hah, ngomong apaan lo?”
“Tadi malam…tadi malam gue telepon lo…ada…ada…” Ardi kesulitan ngomong. Karen terbahak, dia melambai-lambaikan tangannya santai  pada Ardi sambil melihat-lihat menu di meja.
“O iya…tadi malam lo telepon gue ya? Sempet gue angkat. Tapi eh, gue ketiduran lagi, he he…Maap…maap…” Karen terkekeh. Ardi yang masih teringat “horor” tadi malam terus bertanya,
“Terus…terus suara apaan tadi malam? Kayak suara…suaranya kayak gini, “Hrrh…hrrh…”, kayak suara setan? Jangan-jangan…” eh, wajah Karen malah memerah. Aduh, jangan-jangan suara dengkur gue…Mati kutu deh gue, malu ni…Yah, gue ketahuan…aaargghh….
Ardi yang masih penasaran heran melihat wajah Karen yang merah.
“Kenapa? Bener kan? Apa lo juga denger suara itu? Kan, suaranya horor banget!” rasanya Karen jadi mengempis mendengar kata-kata Ardi. Masya Allah, malu banget dibilang suara gue horor…Tapi iya ding, mana ada suara dengkur dibilang manis kayak kue donat? He he…Makanya, Karen mulai menerapkan teori ngeles-nya,
“Ah, eh…anu…itu mungkin suara kipas angin gue ya…Kan agak rusak tuh…” Oooshh….selamat gue…bisik Karen lega. Ardi termakan alasan Karen. Masuk akal, masuk akal…pikirnya sambil mengangguk-angguk dalam hati.
“Oooh…bagus. Lega deh gue… fiuhh…” Karen segera mengubah topik pembicaraan, daripada Ardi terus kepikiran suara “horornya”, he he…
“Oh, oke…eh, gimana Bayu?” Ardi heran.
“Emang Bayu kenapa?” Oh iya! Ardi menjentikkan jarinya. Dia mendadak jadi ingat sesuatu.
“Ah…iya!! Kemarin gue udah tanya-tanya ke Bayu lho…perihal Icha…” Karen yang sedang mengambil gelas yang baru saja disodorkan pelayan tiba-tiba membelalak ke Ardi.
“Hah! Lo enggak bilang soal Icha yang suka sama dia kan?” Ardi tertawa,
“Ya enggak lah…kan itu masih sebatas feeling lo aja…Gue tanya aja. Dia ada cewek yang disuka enggak di kelas. Dia jawab enggak, dia udah cukup memiliki sahabat kayak kita. Terus waktu gue tanya pendapatnya tentang Icha, dia bilang dia enggak ada feeling apapun. Icha adalah teman biasa bagi dia. Dan di malah seneng Icha dideketin Rangga. Begitu…”
Uuff…Karen menghela nafas. Kasihan Icha…
“Emmh, tapi kita tunggu aja perkembangannya ya…Iya, belum tentu si Icha suka sama Bayu. Nothing more than feelings lah…” Ardi langsung senewen dengar kalimat Inggris, karena dia enggak mudeng sama sekali, he he…Tapi dia paham, agaknya mereka harus menunggu.
***
Hari itu Karen bareng Icha ke kampus. Icha yang sudah siap memburu-buru Karen yang sedang asyik milih baju.
“Cha, menurut lo scarf ini bagus enggak kalau dipadukan sama kardigan ini?” Karen mengacungkan scarf merah dengan garis-garis horizontal ungu di tangan kanan dan kardigan berwarna ungu anggur di tangan kanan. Icha menggeleng-geleng kepala.
“Up to you, Karen…yang penting cepet. Udah mau masuk nih…” Icha menimang-nimang kunci motornya sambil terus melirik jam dinding. Karen mengedikkan bahu, lalu dia segera memakai pakaian yang diinginkannya dan menarik tangan Icha untuk berangkat kuliah.
Karen ketemu Bayu di kampus. Cowok itu baru saja memarkir motornya.
“Bay! Lo udah datang to….Gue kira lo masih molor, he he…” Karen menyapa sambil tertawa. Bayu menjitak kepala Karen.
“Dasar. Emang gue tukang molor kayak lo?” Karen mengaduh dan mulutnya mengerucut mendapat jitakan dan sindiran Bayu.
“Idih. Lo kok jadi menjitak gue kayak si Ardi gendeng itu sih?” Bayu hanya tertawa. Dia lalu menatap Icha dan menyapa juga Icha yang sedang melepas helm.
“Eh Cha…Kalau berangkat mending jangan sama si Ucil ini deh…Ha ha…” sinyal Karen langsung “nyala” untuk melihat reaksi Icha.
Wajah Icha bersemu merah dan dia hanya meringis. Lalu berkata kecil,
“Ah, bisa aja lo…” Bayu melambaikan tangannya,
“OK, see you at class aja ya girls, he he….”
Karen melihat bahwa pandangan Icha tak bisa lepas dari Bayu. Ada sentakan perasaan, entah apa itu, dalam hati Karen. Oh sahabat-sahabat gue…bisiknya. Karen melihat ke Icha dengan sedih. Dia merasa bahwa Icha bakal patah hati. Apalagi Bayu memang akrab dengan semua cewek di kelas.
Di kelas, ketika jam pergantian mata kuliah, Bayu mengajak Karen dan Icha ngobrol. Icha terlihat sangat antusias, walaupun wajahnya masih terus memerah. Karen jadi enggak menikmati pembicaraan mereka, maka dia lebih banyak diam. Bayu juga kelihatan senang mendapati pendengar yang menyenangkan kayak Icha. Apalagi hobi mereka sama, yaitu sama-sama suka nonton film. Karen yang enggak “ngeh” jadi agak bete.
Ketika pulang kuliah, Icha terlihat sangat…senang daripada biasanya. Dia bahkan menawari untuk mentraktir Karen, hal yang sangat jarang dilakukannya. Karen jadi merasa bahwa feeling-nya benar. Dia ingin sekali bertanya pada Icha, tapi Karen juga masih ingin menunggu perkembangannya.
Kembali, sebuah perasaaan aneh dirasakan oleh Karen, ketika dia melihat betapa wajah Icha menjadi berseri-seri. Karen merasa sedih lagi, entah kenapa.
***
Nah, untuk kali ini, cukup sampai disini dulu ya…Au revoir, para pembaca (halah, he he…). See u next week 😀 …

Hachiko-A Dog Story (Jpg: Hachiko Monogatari)

Pernah dengar nama Hachiko? Hachiko adalah nama seorang anjing jenis Akita, kisahnya yang mengharukan telah difilmkan dengan versi Amerika dan tentunya juga Jepang. Kisah anjing setia ini telah melegenda. Kisah tentang seekor anjing yang begitu setia terhadap tuannya, yang telah…ehm, lebih enak langsung ke resensinya aja yuk, he…he…Kisah yang ini, gue tonton lewat versi Jepangnya. Kalo yang dimainkan oleh Richard Gere di versi Amerikanya, gue udah lihat, tapi yang versi Amerika memang bersumber dari kisah Jepangnya. Hachiko adalah salah satu film favorit gue. Ada alasannya lho…Let’s…

__________________________________________________________

Directed by: Seijirou Kouyama

Tanggal        : 1 Agustus 1987

Pemeran: Kaoru Yachigusa……as Shizuko Ueno

Mako Ishino…………..as Chizuko Ueno

_____________________________________________________

Nah, Hachiko adalah anjing Akita yang diambil oleh Profesor Ueno, yang penyayang anjing. Anjing ini kemudian mendapat limpahan kasih sayang dari sang profesor yang menganggap Hachi seperti anaknya sendiri. Profesor sering mengajak Hachi berjalan-jalan, memandikannya, dan selalu menjaganya. Pendek kata, Hachi berbahagia bersama profesor Ueno. Sampai istri profesor merasa iri.

Hachi sering mengantar dan menjemput tuannya di stasiun Shibuya, ketika profesor Ueno akan pergi ke universitas untuk mengajar. Pada jam yang sama, pada tempat yang sama, Hachi akan menunggu profesor Ueno pulang. Kegiatan itu berjalan lancar sampai akhirnya terjadi sebuah peristiwa memilukan. Profesor Ueno meninggal di tempat kerjanya, dan Hachi yang sedang menunggu di stasiun tak tahu akan hal itu. Dia hanya bingung, mengapa tuannya tak juga kunjung muncul.

Ketika Hachi tahu bahwa tuannya telah meninggal, pada awalnya ia hanya bingung. Lalu ketika malam hari ketika pada keluarga profesor sedang mendoakan profesor Ueno, Hachi mendekati potret tuannya dan mendengking-dengking dengan sedih. Istri profesor Ueno sampai terpaku melihat Hachi seperti itu.

Ketika mobil jenazah membawa profesor Ueno untuk dimakamkan, Hachi mengejar mobil itu, sebelumnya ia terus mendengking ketika ia diikat di kandang.  Ia mengikuti mobil sampai jalan raya.

Nasib Hachi terlunta-lunta setelah itu. Sahabat profesor Ueno lalu merawat Hachi, tapi tak lama, karena ia tiba-tiba meninggal. Istri profesor tak mungkin merawat. Apalagi puterinya, karena Hachiko akan mengingatkannya akan mendiang ayahnya.

Ketika kesepian, Hachi sering kembali ke stasiun Shibuya, tepat dimana ia biasa menunggu tuannya. Selama 8 tahun kemudian, ia terus melakukan hal itu, sampai petugas stasiun hafal dengannya, juga pemilik warung di dekat stasiun. Karena iba, ia sering memberikan makanan bagi Hachi. Kisah Hachi yang menunggu tuannya lalu menarik seorang wartawan. Kisahnya itu lalu muncul di koran, menjadi terkenal. Istri profesor Ueno pun lalu tahu, bahwa Hachi tak pernah berhenti menunggu tuannya.

Pada suatu malam, ketika waktu itu 8 tahun ia sudah menunggu, Hachi terlelap di stasiun. Ia bermimpi, tuannya menghampirinya dari stasiun, seperti 8 tahun lalu. Dalam mimpi itu, dia bermain bersama tuannya, seperti dulu…

***

Film ini benar-benar membuat gue terharu, bahkan sampai nangis, he he. Nangisnya gue malu-maluin lagi, he he…Ada ya, seekor anjing yang sesetia itu…

Tapi memang ada lho. Kisah ini film ini memang diambil dari kisah nyata. Hachiko memang benar-benar ada. Dia pernah hidup. Dia lahir di dekat kota Odate, prefektur Akita, 10 November 1923. Dia meninggal pada Maret 1935. Profesor Ueno juga benar-benar ada. Kisah ini sudah terkenal di Jepang.  Bahkan patung Hachiko ada di stasiun Shibuya, dimana ia begitu setia menunggu tuannya. Patung Hachiko yang lainnya juga ada. Yaitu di tempat kelahiran Hachiko, di Odate.

Ini dia patung yang ada di stasiun Shibuya…

Gue pertama kali dengar cerita anjing setia ini adalah di film (kalau enggak salah) Ninja Hattori. Disana mereka melihat patung Hachiko. Dan lebih lanjutnya, gue baca cerita Hachiko di salah satu edisi majalah Intisari. Gue lupa no berapa. Kapan-kapan deh, gue coba tengok…

Sejak itu gue terus teringat kisah anjing ini. Untung akhirnya dapat filmnya, he he…

Makanya, saking terkesannya gue akan cerita ini, suatu hari nanti gue pingin banget ke Jepang, lihat patung Hachiko…he he…

Untuk film versi Amerika, kisah Hachiko disampaikan cucu profesor di depan kelas. Jadi dia menceritakan kilas balik kisah anjing kakeknya.

Walau bagaimanapun, kisah ini bagi gue tetap berakhir bahagia. Penantian Hachiko berakhir. Begitu juga kerinduannya, yang akhirnya terpenuhi…

Nah, setiap tahun pada tanggal 8 April yang merupakan peringatan hari kematian Hachiko diadakan upacara penghormatan yang dihadiri ratusan Dogs Lover yang berkumpul untuk mengenang & menghormati kesetiaan Hachiko di Stasiun Shibuya yg merupakan tempat Sachiko menghembuskan nafas terakhirnya.

Ini dia Hachiko…

Kalau ini patung Hachiko di depan stasiun Shibuya(dibuat oleh Takeshi Ando, pada Agustus 1948)…

Makam profesor Ueno dan Hachiko di Aoyama Cemetery…

Aku, Kau dan Dia-Part 5

Taraa… 😀 Aye mau lanjut cerita nyang kemarin (kemarin minggu lalu, bukan kemarinnya itu…(halah ribet, he he…)) nih…Yuk, lanjut… 😀

Bagian 3

Bab 2     : Curhatan Karen

__________________________________________________________________________________

Ardi mendengar Hp-nya bunyi. Jantungnya berdegup kala mendapati siapa yang mengirim SMS. Kenapa tuh anak? Biasanya enggak SMS malam-malam. Ardi membuka pesan Karen,

Di,gw mw kkos lo,bs?Bayu ada g?

Ardi segera membalas,

Bs,dtg aj.Bayu lagi k wrnet

Karen datang 10 menit kemudian. Ardi mendapati Karen terlihat risau. Dia mendekati Karen yang sedang duduk di beranda dengan heran.

“Napa lo Ucil?”

Karen menatap Ardi,

“Eh, gue mau curhat, Di…” Ardi menawarkan gorengan pada Karen. Dia tahu Karen suka banget gorengan.

“Curhat apaan? Cerita aja lah…Gue kan sobat lo, Ucil…” Karen menatap Ardi, agak ragu. Ardi merasa aneh ditatap seperti itu.

“Gini lho…Ehm, gue merasa…Icha suka sama…suka sama…” Ardi mengernyit.

“Suka sama siapa? Yang jelas ah…” Karen tampak ragu lagi.

“Kayaknya Icha suka sama Bayu deh…” diluar dugaan Karen, Ardi malah ketawa.

“Hah, mana mungkin ah…Ngaco lo, tahu darimana?” Karen merengut,

“Iiih…malah ketawa,” Karen memukul bahu Ardi main-main.

“Gue lihat si Icha suka curi-curi pandang gitu ke Bayu…”lanjutnya.

“Beberapa kali lho…juga waktu dia cerita kalau Rangga agak iri sama Bayu gara-gara Bayu juga akrab sama Icha, gue ngerasa aneh. Feeling cewek uy…Dia kelihatan cemas sama Bayu,” tambah Karen berusaha meyakinkan Ardi. Ardi tampak merenung,

“Lhah, terus lo kok cemas? Gue enggak pernah diceritain sama Bayu kalau dia suka sama cewek…” Karen menjentikkan jarinya.

“Nah itu dia. Kalau Icha nembak terus ditolak gimana? Hancur dong pertemanan kita sama Icha. Icha pasti enggak mau ngomong lagi sama Bayu. Gue enggak enak, secara Bayu sahabat gue. Icha juga…”

Ardi manggut-manggut mengerti. Kini ia paham mengapa Karen cemas. Dia lalu menggenggam tangan Karen, berusaha menenangkan.

“Udah, gue juga pasti bakal jadi bantu jadi penengah lah kalau suasananya nanti kayak gitu. Tenang aja…Lo enggak sendiri” Karen menatap Ardi senang. Tiba-tiba ia teringat sesuatu,

“Eeh…biasanya lo kan “error”, kalo pas gue curhat kok lo jadi bijak begini? Kesambet apaan?” Ardi menepuk dahinya. Dasar Karen “edan”, pikirnya…Dia lalu menjitak kepala sahabatnya itu.

“Ampun deh lo, Ucil. Gue mengkondisikan lah…masak gue lagi suasana serius malah ngajak ketawa kan ya aneh to mbakyu…” bahasa Jawa Ardi kental banget. Karen terbahak.

“Iya iya…OK, lo yang terbaik deh…Sipp!!” Karen mengacungkan jempolnya. Ardi terhenyak mendengar pujian Karen.

Kenapa gue merasa aneh ya? Enggak biasanya ini gue ngerasa kayak begini. Apa gara-gara Karen ya? Gue jarang dipuji orang…paling banter orang memuji karena gue pintar matematika. Ardi rasanya pingin ketawa sendiri. Ternyata gue juga bisa dimintai pendapat kalau orang curhat, he he…

“Eh, kenapa lo senyum-senyum sendiri? Tuh kan, kesambet…” tiba-tiba Karen menyadarkan Ardi yang sedang sibuk berbangga dengan dirinya sendiri. Ardi gelagapan,

“Enggak kenapa-kenapa. Gue seneng aja dapat pujian. Berarti gue hebat ya…” kata Ardi pede banget. Karen tersedak pisang gorengnya dan terbahak.

“Halaaah…baru aja sekali diajak curhat…Ho ho ho…” Ardi menjitak kepala Karen sekali lagi. Saat itulah Bayu datang sambil menenteng bungkusan plastik hitam. Glek, Karen menelan ludah cemas. Mati gue…bisiknya kalut. Ardi gantian tersedak tahu gorengnya. Bayu menatap kedua sahabatnya bingung.

“Kalian kenapa sih? Kok kayak kaget lihat gue? Apa apa?” Bayu melihat sekelilingnya, siapa tahu Karen dan Ardi melihat penampakan lalu jadi bertingkah aneh, he he…

“Eh…eng…enggak kok…eh, apaan yang lo bawa itu?” Ardi gelagapan dan mencoba mengalihkan perhatian dengan menunjuk plastik yang dibawa Bayu. Bayu memandang plastik di tangannya,

“Eh ini? Makan malam kita…” Ardi merebut bungkusan itu dengan antusiasme berlebihan. Bayu melongo, lalu mengalihkan pandang dari Ardi ke Karen,

“Lo udah makan, Ucil?” Karen meringis salting.

“Udah dong…Eeeh!! kenapa lo ikut-ikutan manggil gue Ucil!!” Karen tersadar. Bayu gantian yang gelagapan.

“Eh, emang enggak boleh ya?” Karen mengaum,

“Engguaakk!! Gue kan enggak kecil!! Dia aja yang manggil gue kayak gitu udah gue jitak kayak begini,” Karen menjitak kepala Ardi yang sedang meneliti makanan yang dibawa Bayu. Malang banget dia dapat jitakan untuk yang kesekian kalinya.

“Aduh!! Kok lo jitak gue lagi sih!!” sungut Ardi kesal. Karen menatap Bayu,

“Nah, kayak gitu!!”

Bayu malah ketawa. Karen heran. Ardi masih mengusap-usap kepalanya, sebal.

“Yee…itu kan panggilan kesayangan, tahu…”Bayu memberi alasan. Wajah Karen memerah, malu.

“Oh, eh, gitu…Eh, maap ye, he he…” Karen meringis pada Ardi. Ardi balas meringis agak sebal sedikit.

“Kalau itu panggilan kesayangan enggak apa-apa deh, he he…Tapi gue enggak kecil. Wlee…” Karen berkata pada Ardi sambil memeletkan lidahnya.

Ardi hanya tertawa. Dasar sahabat yang aneh, pikirnya.

Karen lalu beranjak. Dia menguap.

“Gue udah ngantuk nih guys…Pulang dulu ya….si  Empuk udah manggil-manggil tuh, he he…” Bayu mengernyit heran.

“Si Empuk?” Karen cengegesan.

“Bantal sama kasur gue maksudnya, he he…” Bayu balas cengengesan.

Setelah Karen pergi, Ardi menanyai Bayu.

“Eh Bay…” Bayu yang sedang membuka bungkus makannnya menoleh.

“Hmm?” Ardi tanpa tedeng aling-aling langsung melanjutkan bertanya,

“Di kelas lo ada yang lo suka enggak?” Bayu tersedak ayam gorengnya.

“Uhukk…huk..kok lo tanya kayak gitu?” kata Bayu setengah batuk. Ardi yang masih menampakkan wajah polos “bayi”-nya, melanjutkan berucap.

“Cuma tanya kok…Penasaran aja. Katanya lo mau cari cewek di kampus? Yang baik? Enggak kayak dulu? Jadi, udah dapat belum?” Bayu termakan alasan Ardi. Dia untungnya enggak mengira bahwa dibalik pertanyaan “polos” Ardi itu, Ardi sebenarnya sedang mengorek informasi untuk dibagi ke Karen. He he… Maka Bayu menjawab langsung.

“Enggak…enggak ada…” Wah, kasihan Icha, pikir Ardi sambil geleng-geleng. Dia melanjutkan bertanya,

“Apa pendapat lo tentang Icha? Kemarin kan dia main bareng sama kita.menurut lo dia orangnya kayak gimana?” Bayu sekarang agaknya “mencium” adanya sesuatu yang aneh, karena itu dia memandang Ardi penuh selidik.

“Hah, Icha? Kok bisa bahas Icha? Dia orangnya biasa aja. Ceria, enggak se-error Karen,” Icha menurut Bayu hanya “biasa”. Kasihan banget Icha…pikir Ardi lagi. Tak diduga Bayu melanjutkan,

“Dia kan lagi dideketin si Rangga. Ya gue pribadi sih merasa seneng lah si Icha ada yang memperhatikan…Icha toh temen gue,” Aduh, tambah kasihan lagi si Icha…Bayu kayaknya malah seneng Icha dideketin orang lain…pikir Ardi tambah merasa ngenes lagi terhadap Icha. Bayu memperhatikan Ardi lagi. Kali ini Ardi yang merasa mendapat informasi yang dia inginkan tak bisa lagi mempertahankan wajah polos bayi-nya. Dia memandang Bayu setengah cengengesan.

“Kenapa lo jadi tanya-tanya tentang Icha?” Ardi mendadak salting.

“Ah..eh…ehm. Enggak kenapa-kenapa kok,” tapi Bayu tampaknya masih curiga. Tapi dia lebih mementingkan perutnya yang lapar daripada terus curiga. Ardi, yang akhirnya lega memutuskan masuk ke kamar, sambil membawa jatah makannya, daripada ada risiko dicurigai lagi.

***

Ardi langsung telepon Karen, karena dia malas kalau disuruh SMS (kelamaan, he he…). Maka dengan segera dia menunggu respon di telepon.

“Karen, lo udah tidur?” tanya Ardi di telepon.

“….”

Ardi bingung. Kok senyap? Dia mencoba lagi.

“Ucil? Kok enggak jawab?”

“…hrrh…” Ardi kaget. Apaan itu tadi? Dengan memberanikan diri dia berbicara lagi.

“Ucil? Eh, Karen…tadi suara apa? Nyeremin…”

“…Hrrrh…Hrrrh…Hrrrrr…”

Uwaaaaa…..!! Ardi menggigil. Jangan-jangan itu suara…

Maka Ardi yang ketakutan lalu mengambil bantalnya, dengan gemetar menutupi kepalanya dan buru-buru meringkuk di tempat tidur.

Ardi lupa. Karen kan tadi bilang mau tidur… Dan saat dia telepon, jelas lah Karen enggak jawab. Dan perihal suara “hrrhh…hrrh…” itu, itu suara dengkur Karen…Mungkin Karen terbangun sesaat dan mengangkat teleponnya, kemudian tidur lagi tanpa mematikan telepon.

Ck ck…Kasihan Ardi…

***

OK…next time kita lanjut lagi ya…Insya Allah, setiap minggu bakal gue lanjutin ceritanya…I hope u’ll wait until next episode…Key key!! Ciao….^_^!!

Kau, Aku dan Dia-Part 4

Ahoiii…ketemu lagi 😀 …Nah, yuk, kita lanjutin ceritanya… 😀
Bagian 3 : Permulaan
Bab 1      : Icha

___________________________________________________________

April 2010
Karen gelisah. Tugas kuliah kali ini benar-benar membuatnya frustasi. Apaan sih ini dosen? Bisiknya sambil tengkurap di kasur saking sebalnya. Icha yang baru pulang dari membeli makan menatap teman sekamarnya dengan heran.
“Ngapain lo Ka?” Karen mengangkat kepalanya.
“Tugas uy…” Icha terbahak.
“Tenang aj…dead line masih lama juga. Gue juga belum selesai kok” Karen mengerang.
“Yah…tapi kan kalau dua hari lagi selesai besoknya kan gue bisa enak molor, he he…” Icha terkekeh.
“Yah…lo mah molor mulu…” Karen meringis.
“Lho kan enak…eh, lo beli nasi goreng dimana? Baunya enak…” Icha menghempaskan diri ke kasur, menggeliat kelelahan.
“Satu blok dari sini. Kayaknya enak. Murah lho, cuma Rp 7000,00. Udah lengkap. Ayam sama sayur”
Rasanya air liur Karen udah mau menetes cuma dengan mendengar penjelasan Icha. Icha memperhatikan raut muka Karen yang menampakkan ekspresi “kepingin banget” itu dan terbahak lagi.
“Gue belikan buat lo juga kok…” Karen terlonjak kegirangan.
“Hah, yang bener? Aduh muakasih buanget ssayyy!!!” dan langsung memeluk Icha. Icha terkikik.
“Hush…udah ah, geli. Ya udah, makan dulu yuk…” Karen menyambutnya dengan semangat,
“Ya…ya, ok…ok…”
Setelah makan, mereka asyik bergosip. Mereka membicarakan Rangga yang kabarnya sedang berusaha PKDT dengan Icha. Icha menepis sambil tertawa terbahak.
“Gila aja, Rangga yang gendut, kalau jalan perutnya goyang-goyang itu? Idih ogaaah….” Karen ikut terbahak.
“Lah, lo maunya sama siapa dong kalau gitu?” Eh, Icha malah diam sambil wajahnya merah semua kayak tomat Amerika (halah, tomat Indonesia juga merah. Cuma biar keren, ambil contohnya yang jauh aja tempatnya, he he…).
“Ealah ini anak, malah diem. Napa say?” Icha meringis.
“Ga pa pa….Eh, gue boleh tanya?” Karen heran,
“Tanya apa? Boleh aja, asal jangan tanya “boleh enggak gue ambil motor lo?” Nah, itu jelas-jelas enggak boleh, he he. Tanya apa neng?”
Icha tampak terdiam sebelum akhirnya bertanya,
“Bayu sahabat lo kan?” Karen mengangguk.
“Iya dong, walaupun kita resmi sahabatan lamanya baru seumur tongkol jagung doang, he he… Iya, dia sahabat gue. Lo juga kok, kita kan partner,he he…” Icha mengangguk.
‘Iya, gue tahu. Cuma gue ngerasa Rangga agak enggak suka sama Bayu ya? Enggak kenapa-napa sih, cuma gue agak kasihan juga. Rangga kan pede setengah mati sama gue, nah, Bayu temen gue juga kan. Gue akrab sama semua cowok kok. Karena Bayu temen lo ya gue agak lebih akrab sama dia dibanding sama temen cowok lain. Kelihatannya Rangga enggak suka itu,” jelas Icha panjang lebar. Karen merenung.
“Apa iya Rangga kayak begitu?” sahut Karen kemudian. Icha mengagguk kuat-kuat.
“Iya, dia kalau ngomong sama Bayu suka sinis…” Karen merenung lagi.
“Yah, Bayu kan orangnya akrab sama semua orang. Dia juga gampang berbaur. Mungkin si Rangga agak iri juga. Bayu kan populer, mungkin gitu Cha…” Icha mengangguk lagi.
“Oh, gitu ya? Iya, Bayu lumayan populer dan Rangga enggak seperti dia. Jadi waktu Bayu akrab sama gue, Rangga enggak suka, gitu ya?” gantian Karen yang mengangguk.
“Yap. Biasa, cowok. Tapi yang penting, kita tetap akrab sama si Rangga. Jadi dia enggak merasa dibedain, gitu. Lagipula, sebenarnya dia orangnya asyik kok, kalau dia mau,”
“Setuju. Gimana kalau kapan-kapan kita ajak Rangga main basket juga sama kita?” Eh, Karen malah kepikiran buat menggoda,
“Wah, mau PDKT sama Rangga juga ya say? He he…Aduh manisnya…” wajah Icha merah.
“Eeh, bukan gitu. Cuma biar dia akrab sama Bayu dan kita juga. Ah, lo mah mikirnya gitu mulu. Lagipula dengan perut endut-nya itu, dia bakal kewalahan ngejar bola, he he…” Karen terbahak.
“Ha ha…bener lo, yang melambung bukan bolanya, tapi malah perut dia. Tuing, tuing, he he he…” Icha ikut terbahak.
Sebenarnya ada suatu perasaan, entah apa itu, tentang Icha saat cewek itu curhat tentang Rangga dan Bayu. Karen merasakannya sekelebat, tapi dia memilih untuk diam saja. Kan cuma perasaan aja, pikir Karen.
***
Akhirnya jadi juga rencana Icha ngajak Rangga main basket bareng dirinya, Karen, Ardi dan Bayu. Rangga excited banget. Menganggap ajakan Icha sebagai kencan. Terpaksa seharian itu Icha lalui dengan Rangga yang ngintil (bahasa Jawa, artinya mengikuti, he he…) alias mengekor dibelakangnya. Icha menggerutu,
“Rangga, lo awasi bola aja. Jangan sampai masuk keranjang kita. Oke? Jangan ngikutin gue mulu deh,” Icha bete. Anak-anak lain ngetawain. Karen yang paling keras ketawanya. Rangga mesem,
“Apapun lah, buat lo, he he…” Icha tambah bete.
Pertandingan hari itu seru. Skor seimbang. Yang membuat pertandingan tambah seru adalah adegan bergoyangnya perut Rangga selama pertandingan berlangsung.  Akhirnya Rangga tak kuat,
“Istirahat…huff, huff….Capek…bengek”
Terpaksa pertandingan dihentikan. Rangga malah bengek. Icha sebenarnya enggak tega, namanya juga teman sendiri.
“Jantung lo enggak kuat ya? Makanya, kalau makan jangan banyak-banyak. Lemak lo tu…”   Bayu menggoda,
“Wah, ciee…perhatian nih…he he…” Icha merah wajahnya mendengar godaan itu. Dia memandang Bayu sembunyi-sembunyi. Rangga menatap Bayu dengan senang,
“Iya nih. Benar-benar cewek idaman. Iya enggak say?” Icha membelalak ke Rangga,
“Whoe, sejak kapan gue jadi kesayangan lo?” Rangga mesem lagi,
“Sejak dulu dong say…”
Ih, idih. Icha bete lagi. Anak-anak kembali ngetawain. Icha hanya merah wajahnya. Karen tak ikut tertawa lagi kali ini. Dia memperhatikan Icha. Icha kembali menatap Bayu. Ada sasuatu di matanya. Kali ini Karen yakin, firasatnya benar.
***
Jika Icha menyukai Bayu, pikir Karen merenung di meja belajar saat Icha sudah tidur, rasanya kok aneh ya? Mungkin gue takut, pikir karen lagi. Kalau Icha patah hati gimana? Apa gue bakal marah ke Bayu ya? Dia kan sahabat gue?
Lagipula, Karen tak rela jika misalnya Bayu dan Icha jadian (kalau Bayu terima Icha sih…). mungkin dia takut kehilangan dua sahabatnya. Kalau mereka tiba-tiba putus gimana? Terus jauh-jauhan? Aduh enggak enak deh…Gue kan sayang Bayu…sayang Icha juga…
Ardi. Tiba-tiba nama itu muncul dalam pikiran Karen. Ardi mungkin bisa dimintai pendapat. Maka Karen memantapkan hati dan meraih Hp-nya. Mencari nomor Ardi dan mengirim pesan.
***
Yapp…Untuk saat ini, sampai disini dulu yaaa…. J..Besok pasti aye lanjutin dah, Insya Allah… OK! Dadaaah… 😀

Videokeman

videokeman mp3
My Love – Westlife Song Lyrics

Big Ben

Lonceng Big Ben

Ini nih, menara jam yang sering muncul pas pelajaran geogrfi, he3… 😀

Jam ini terletak di Gedung Parlemen di Westminster, London, Inggris Raya. Keistimewaannya, menara jam ini adalah jam menara terbesar kedua di dunia. Terletak di timur laut rumah Parlemen, Westminster, London. Lonceng jam ini terbuat dari emas.

Jam ini didesain oleh seorang pengacara dan horologis amatir,Edmund Beckett Dennison dan George Airy, astronom kerajaan. O iya…Bin Ben itu adalah nama kecil dari  lonceng yang ada di dalam jam ini.

Menara ini tingginya 96,3 meter( 316 kaki), semua sisi jam (ada 4 sisi jam) tingginya 55 meter(180 kaki).

Ini petanya kalau kalian mau berkunjung:


 

Previous Older Entries